Sondag 31 Maart 2013

DALIL QOTH’I DAN ZHONNI



DALIL QOTH’I DAN ZHONNI
Oleh: Mumu Fahmudin
Abstrack:
The arguments of both the Qur'an and as-Sunnah, the appointment to the meaning and significance of argumentative strength is qath'i no longer need to understand the existence of ijtihad. While the arguments that the appointment to the significance and meaning to be argumentative force Zhonni still require the presence of ijtihad in understanding to be used as a legal basis.
Keyword: Qath'i, Zhonni, Dalalah

A.      Pendahuluan
Dalam kajian terhadap al-Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak diperhatikan, yaitu al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Dari sisi al-subut al-Qur’an, tidak ada perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang kebenaran sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Allah karena sampai kepada umat Islam secara mutawatir sehingga memfaedahkan yakin.[1]
Sementara dari sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat-ayat yang qath’i dan Zhonni. Kajian mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an menunjukan bahwa adanya ayat-ayat yang qathi’i dan Zhonni merupakan ciri al-Qur’an tersendiri dalam menjelaskan hukum (ahkam). Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya adalah tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, Allah memang secara sengaja menempatkan suatu ayat qathi’i dan yang lain Zhonni dengan maksud dan makna tertentu.
Pembahasan qath’i dan Zhonni hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan makna dalil itu sendiri. Para ahli usul fiqh membagi dalil atas tiga bentuk, yaitu nas, zahir, dan mujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan oleh jumhur ushul fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain.  Sedangkan dalil dalam kategori zahir dan mujmal termasuk dalil yang bersifat Zhonni, karena makna dalil dalam kategori ini masih mengandung kemungkinan makna lain.
Ulama Ushul al-Fiqh ada yang menegaskan bahwa sifat dalil itu adalah menunjukkan kepada hukum syar'i secara konklusif (qath'i), kalau tidak menunjukkan kepada hukum syar'i secara konklusif (qath'i), melainkan hanya dugaan kuat (Zhonni) maka disebut dengan amarah (tanda-tanda hukum). Akan tetapi pengertian yang umum di kalangan ulama Ushul al-Fiqh adalah bahwa dalil-dalil itu meliputi semua sumber hukum (Mashadir al-Ahkam) yang menunjukkan kepada hukum syar'i, baik secara qath'i maupun secara Zhonni.[2]
B.       Pengertian Qath’i dan Zhonni
            Berdasarkan kenyataan di atas dan dari berbagai konteks pemaknaan yang ada, maka dapat diambil pemahaman bahwa:
1.      Dalil Qath'i
Secara bahasa yang dimaksud dengan qath’i adalah putus, pasti, atau diam. Qath’i dan Zhonni merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil.[3]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis). Qath’i tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks.[4]
            Dalil Qath'i yang dirumuskan asy-Syatibi adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan. seperti kepastian kita tentang adanya seseorang yang bernama Hatim, yang kita ketahui dari banyaknya kejadian-kejadian dan laporan-laporan mengenainya[5]. Atau seperti kepastian kita tentang adanya Kota Makkah dan Negara Mesir karena ke-mutawatiran berita-berita mengenainya sehingga seakan-akan kita melihatnya langsung[6].
            Menurut asy-Syatibi, ke-qath'i-an makna yang ditunjukkan oleh dalil tidak selalu lahir dari kekuatan dalil itu sendiri. Dengan kata lain, suatu dalil tidak secara berdiri sendiri menunjukkan kepada makna qath'i, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syatibi;"... adanya ke-qath’i-an, dalam pengertian yang umum dipakai pada dalil-dalil syar'i secara satu persatu adalah mustahil atau amat langka"[7]. Ketidak-qath’i-an itu dapat disebabkan oleh kemungkinan-kemungkinan historis, misalnya asal-usul dalil tersebut secara historis (al-wurud) memang belum meyakinkan, dan apabila asal-usul historisnya telah terbukti shahih dan qath'i, dalil tersebut masih akan diliputi oleh kemungkinan-kemungkinan gramatikal dan semantik, misalnya adanya perbedaan bacaan (qira'ah) yang disebabkan oleh perbedaan analisis sintaksis, adanya makna ganda (musytarak), dan lain-lain.
            Akan tetapi ke-qath'i-an tersebut lahir dari gabungan sejumlah dalil yang secara bersama-sama mendukung penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) yang pasti. Rukun Islam yang ada 5 (lima) itu misalnya adalah qath'i, dan ke-qath’i-annya diperoleh dengan cara demikian[8]. Kewajiban shalat misalnya tidak semata-mata ditunjukkan oleh perintah di dalam firman Allah SWT:
واقيموا الصلاه......
 "Dan dirikanlah shalat..." (QS. al-Baqarah: 43).
Dalil tersebut ditopang oleh sejumlah indikasi lain yang semuanya mendukung pemaknaan perintah di dalam firman Allah Swt. di atas sebagai menunjukkan wajib. Misalnya kita menemukan adanya pujian terhadap orang yang mengerjakan shalat dan celaan terhadap orang yang meninggalkannya, adanya perintah shalat dalam keadaan duduk sekalipun apabila tidak bisa berdiri, atau berbaring apabila tidak bisa duduk, dan indikasi lainnya. Kebersamaan inilah yang membuat Firman Allah SWT menjadi wajib dan membuat hukum wajib tersebut adalh Qoth’i[9].
Namun, pendapat tersebut mengandung kebebasan berpikir yang berlebihan(ihtimal at-Takhayyul), yang apabila dibiarkan dengan sendirinya, tanpa adanya batasan, akan menyebabkan dan menimbulkan kesimpulan bahwa di dalam al-Qur'an tidak ada dalil yang bersifat qaih'i dan tidak akan ada dalil yang dapat dijadikan pedoman secara pasti dan meyakinkan.
Dan hal tersebut tidak mungkin keberadaannya karena di dalam al-Qur'an
terdapat dalil-dalil yang bersifat universal, yang mendukung upaya menjaga prinsip universal, yaitu untuk menjaga agama (ad-Din\ jiwa (an-Nafs), akal (al-'Aql), keturunan (an-Nasab), dan harta (al-Mal), dan inilah dalil-dalil yang secara pasti dan meyakinkan untuk dijadikan pedoman.
Disamping itu juga dalam al-Qur’an ayat-ayat yang bersifat qoth’I sangat sedikit sekali diperkiraan hanya 1% sedangkan ayat yang bersifat Zhonni 99% jumlahnya dasar ini lah yang menjadi landasan sebagai lapangan ijtihad para ulama fiqh.
           
2.      Dalil Zhonni
Secara bahasa yang dimaksud dengan Zhonni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah).
Adapun Zhonni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil Zhonni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan[10].
Menurut asy-Syatibi, Dalil Zhonni ini dibagi dalam 3 (tiga) kategori:
Pertama, Dalil Zhonni yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath'i (Ashl Qath'i). Dalil ini tidak diragukan lagi keabsahannya untuk dipegangi, sebagaimana hadits:
عن ابن عباس رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  : لا ضرر ولاضرار (رواه احمد وابن ماجه)     
Hadits ini adalah Zhonni karena keshahihan asal-usul historisnya (al-wurud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi hadits ini dinaungi oleh prinsip universal (syari'ah), yaitu segala yang merugikan (madlarat) dihindari. Prinsip ini disimpulkan dalil sejumlah dalil juz'i atau kasus-kasus detail, seperti larangan bertindak merugikan dan berbuat madharat terhadap istri (QS. at-Thalaq, [65]: 6), terhadap mantan istri yang dirujuk (QS. al-Baqarah [2]: 233), larangan bertindak merugikan dalam penulisan dan pemberian saksi hutang-piutang (QS. al-Baqarah [2]: 282), dan larangan agar ibu dan ayah jangan sampai menderita karena anaknya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Dari sinilah disimpulkan prinsip di atas dan prinsip tersebut memperkuat dan menaungi hadits Zhonni di atas[11].
Kedua, Dalil Zhonni yang bertentangan dengan suatu prinsip yang qath 'i. Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan dasar-dasar syari'ah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi. Contoh yang biasanya dikemukakan mengenai hal ini adalah penggunaan pertimbangan mashlahah oleh beberapa ulama untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat berupa puasa 2 (dua) bulan berturut-turut[12]. Sebenarnya menurut hadits Rasulullah saw, hukuman tersebut bersifat fakultatif, yaitu orang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadlan harus membayar kifarat berupa; membebaskan budak, jika tidak ada budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.  
Para ulama tersebut mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu tujuan hukuman yang dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan mengulangi perbuatannya. Menurut para ulama tersebut, apabila seorang raja dihukum dengan kifarat' membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan hukuman, yaitu mencegah pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan berapapun harga budak dapat dibelinya, untuk kemudian dibebaskannya. Oleh karena itu, demi kemashlahatan raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut agar dia merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya karena puasa 2 (dua) bulan berturut-turut adalah berat. Cara berargumentasi (istidlal) demikian, menurut al-Ghazali, adalah bathal, karena bertentangan dengan nash yang menegaskan bahwa hukumannya adalah membebaskan budak, baru kalau tidak ada, kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut diterapkan (al-Ghazali, t.t.: 285).
Argumentasi  para ulama yang diwakili oleh as-syatiby dengan menghukum raja tersebut dengan puasa 2 bulan berturut-turut berlandaskan kemaslahatan untuk pribadi raja itu sendiri, karena kalau hukumannya membebaskan budak itu dapat mudah dilaksanakan oleh seorang raja. Sedangkan argumentasi Al-Ghazali terlihat sangat tradisionalis (tektual) terhadap pemahaman nash, sehingga ia membatalkan seandainya hukuman bagi raja itu puasa selama 2 bulan berturut-turut menurutnya karena tidak mengikuti ururtan hukuman dalam nash tersebut di atas.

Ketiga, Dalil Zhonni yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath'i, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qath'i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasamya segala yang berada pada tingkat Zhonni dalam syari'ah dapat diterima[13].

A.    Macam dan Syarat Qoth’I dan Zhonni
Dalam pembahasan ushul fiqh, dalil yang qath’i dan dalil yang Zhonni masing terbagi atas dua bentuk, yaitu:
1.      Qath’i as-tsubut (kebenaran sumber) dan qath’i ad-dalalat (kepastian kandungan makna.
Yang dimaksud dengan qath’i as-subut adalah suatu dalil yang secara pasti bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAW dan dapat dibuktikan dari segi periwayatannya.
Adapun yang dimaksud dengan qath’i ad-dalalat adalah suatu dalil yang hanya mempunyai satu makna dan tidak mungkin diartikan lain[14].
2.      Zhonni as-tsubut dan Zhonni ad-dalalat
Zhonni as-tsubut adalah suatu dalil yang bersumber dari hadis ahad, diduga keras datangnya dari Rasulullah SAW.
Zhonni ad-dalalat adalah suatu dalil yang menunjukan kepada arti yang masih dapat dita’wil atau dialihkan kepada arti yang lain[15].
Umat Islam meyakini sepenuhnya bahwa al-Quran itu datang dari Allah SWT. Hadis-hadis Rasulullah SAW yang bersifat qath’i as-subut adalah hadis-hadis mutawattir. Adapun hadis-hadis ahad (tidak mencapai tahap mutawattir) mayoritas hadis yang tercakup dalam katagori ini bersifat Zhonni as-subut. Dalam menjadikannya sebagai hujjah, hadis seperti ini menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama apabila bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Pertentangan ini bisa dalam bentuk umum dan khusus atau mutlak dan bersyarat. Imam Abu Hanifah misalnya, tidak mau menerima riwayat yang bersifat ahad, kecuali dengan syarat-syarat yang cukup ketat seperti hadis itu tidak menyangkut kepentingan semua atau mayoritas umat dan rawi hadisnya tidak melakukan suatu pekerjaan yang bertentangna dengan kandungan hadis yang diriwayatkannya[16].
Menurut para ahli hadis, qath’i dalalat tidak terdapat dalam al-Quran karena tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu kandungan makna. Berkaitan dengan hal ini, Abdullah Darraz (Ulama besar al-Azhar) mengatakan bahwa apabila ayat-ayat al-Quran dibaca untuk pertama kali maka maknanya akan jelas, akan tetapi apabila ayat yang sama dibaca sekali lagi maka akan ditemukan pula maksud lain yang berbeda dengan makna yang terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang bermacam-macam. Pendapat Abdullah Darraz tersebut menunjukkan bahwa dari segi kandungan maknanya, ayat al-Quran semakin digali semakin banyak makna yang ditemukan. Lebih lanjut beliau mengatakan ayat al-Quran itu ibarat sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.
Adapun yang berhubungan dengan syarat-syarat qhot’I, Dalam kaitan ini, Imam asy-Syatibi mengemukakan sepuluh premis yang harus dipenuhi agar satu dalil yang berdiri sendiri dapat dikatakan bersifat qath’i, yaitu[17]:
1.         Riwayat kebahasaan
2.         Riwayat yang berkaitan dengan tata bahasa /gramatika (nahwu)
3.         Riwayat yang mengandung perubahan kata (sharf);
4.         Redaksi yang dimaksud bukan kata yang bersifat ganda (musytarak);
5.         Tidak mengandung peralihan makna (takwil);
6.         Redaksinya bukan kata metaforis (majas);
7.         Bukan sisipan (idmar);
8.         Bukan awalan dari akhiran;
9.         Bukan pembatalan hukum (naskh); dan
10.     Tidak mengandung penolakan logis.
Jika kesepuluh premis ini bersifat qath’i, menurut beliau, barulah dalil tersebut dinamakan qath’i. Akan tetapi, apabila tiga premis yang pertama jelas tidak qath’i, sedang tujuh lainnya hanya diketahui melalui istiqra tamm (metode induktif yang sempurna), maka hasilnya tetap qath’i ad-dalalah. Oleh sebab itu, dengan pandangan ini asy-Syatibi sependapat dengan para mufassir yang mengatakan bahwa satu dalil (ayat atau hadis) tidak bisa dikatakan qoth’i apabila ia berdiri sendiri. Kepastian hanya didapatkan apabila suatu dalil didukung oleh dalil-dalil lain dalam topik yang sama.
B.     Qath'i dan Zhonni dalam al-Qur'an dan as-Sunnah
Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, al-Qur'an dari segi asal-usul historisnya (al-wurud) adalah qath'i (Qath'i ats-Tsubuf)[18]. Sedangkan dari segi penunjukkan maknanya (dalalah) terbagi menjadi 2 (dua) kemungkinan[19]: Pertama, Qath'i (Qath'i ad-Dalalah), yaitu nash al-Qur'an yang menunjukkan kepada makna yang jelas, dapat dipahami dan tidak memerlukan ta'wil atau dipahami dengan makna lain. Misalnya firman Allah SWT:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidakmempunyai anak... "(an-Nisa': 12).
Penunjukkan makna (ad-dalalah) ayat tersebut adalah qath 'i, yaitu jelas sekali sehingga tidak boleh dita'wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, bagian seorang suami dalam mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah setengah dari
harta peninggalannya[20].
Kedua, Zhonni (Zhonni ad-Dalalah), yaitu nash al-Qur'an yang menunjukkan kepada suatu makna namun masih dapat dita'wil atau maknanya dialihkan kepada makna lain. Misalnya firman Allah SWT:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'... "(al-Baqarah: 228). .
Kata quru' dalam Bahasa Arab disebut lafadh musytarak, yaitu mempunyai lebih dari satu makna. Dapat bermakna thuhr (suci), dan dapat pula bermakna haidl (menstruasi). Sehingga para mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan masa iddah perempuan tersebut. Ada yang menetapkan masa iddahnya 3 (tiga) kali haidh dan ada yang menetapkan masa iddahnya 3 (tiga) kali masa suci[21].
Nash-nash al-Qur'an yang memiliki lafadh musytarak, 'am, dan muthlaq atau semacamnya adalah Zhonni ad-Dalalah, sebab lafadz tersebut dapat diartikan kepada suatu makna tertentu dan dapat pula menunjukkan kepada makna lain.
            Sedangkan as-Sunnah dari segi asal-usul historisnya ada yang: (1) Qath'I (Qath'i al-Wurud), yaitu Sunnah Mutawatirah. Sedangkan Sunnah Masyhurah asal-usul historisnya qath'i (Qath'i al-Wurud) dari sahabat, tidak dari Rasulullah saw, karena sahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah saw tidak mencapai derajat mutawatir. Ulama Hanafiyah menganggap Sunnah Masyhurah sebagai Sunnah Mutawatirah. Dengan demikian menurut mereka, Sunnah Masyhurah dapat digunakan untuk mentakhshish yang 'amm dan mentaqyid lafadh yang muthlaq dari ayat-ayat al-Qur'an. (2) Zhonni (Zhonni al-Wurud), yaitu Sunnah Ahad, karena cara penerimaan dan pemberitahuan para periwayat (sanad) tidak member keyakinan bahwa riwayat tersebut berasal dari Rasulullah saw [22].
Sedangkan dari segi penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) ketiga Sunnah tersebut, baik Sunnah Mutawatirah, Sunnah Masyhurah, maupun Sunnah Ahad, ada yang: (a) Qath'i (Qath 'i ad-Dalalah), apabila pengertian yang ditunjukkan oleh nash-nash Sunnah tersebut tidak dapat dita'wil kepada makna lain, di luar makna semula. (b) Zhonni (Zhonni ad-Dalalah), apabila pengertian yang ditunjukkan oleh nash-nash Sunnah tersebut masih dapat dita'wil kepada makna lain, selain makna semula[23].
Dari segi kekuatan argumentatif maknanya (al-hujjiyah), menurut pcnulis, baik di dalam al-Qur'an maupun Sunnah, terdapat dalil-dalil yang: (a) Qath'I (Qath'i al-Hujjiyah), yaitu nash-nash al-Qur'an maupun Sunnah yang kekuatan argumentatif maknanya kuat, bersifat pasti, dan meyakinkan. Misakiya nash-nash
yang mendukung prinsip-prinsip universal, yaitu prinsip yang menjaga kepentingan agama (ad-Din), jiwa (an-Nafs), akal (al- 'Aql), keturunan (an-Nasab), dan harta (al-Mal). (b) Zhonni (Zhonni al-Hujjiyah), yaitu nash-nash al-Qur'an maupun Sunnah yang kekuatan argumentatif maknanya kurang kuat, bersifat kurang pasti, dan kurang meyakinkan. Misalnya nash-nash yang merupakan penjabaran dan pelaksanaan dari prinsip-prinsip universal tersebut dalam lapangan hukum praktis (fiqh), sesuai dengan situasi dan kondisi, ruang dan waktu di mana hukum tersebut dipraktikkan.

C.    Hubungan Qath'i dan Zhonni dengan Ijtihad
Berdasarkan pemahaman di atas, bahwa terdapat nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah yang menunjukkan makna secara qath'i (Qath 'i ad-Dalalah), secara jelasdan meyakinkan menunjukkan kepada suatu makna tertentu dan tidak memungkinkan lagi untuk dita'wil kepada makna lain. Dan ada pula nash-nash yang kekuatan argumentatif maknanya (al-hujjiyah) bersifat qath'i dan mendukung prinsip-prinsip universal. Maka nash-nash tersebut tidak akan memerlukan lagi adanya ijtihad di dalam memahaminya dan untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar hukum.
Sedangkan nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah yang penunjukkan maknanya adalah Zhonni (Zhonni ad-Dalalah) masih mengandung adanya kemungkinan untuk dita'wil dan dialihkan maknanya kepada makna Iain, termasuk nash-nash yang mengandung lafadh yang musytarak, 'amm, dan muthlaq. Dan nash-nash yang kekuatan argumentatif maknanya (al-hujjiyah) bersifat Zhonni dan merupakan penjabaran dari pelaksanaan prinsip-prinsip universal. Maka di sinilah diperlukan adanya ijtihad dalam menentukan maknanya yang sebenamya, dan seringkali di dalam nash-nash yang Zhonni inilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan mujtahid[24].
Namun secara umurn, menurut asy-Syatibi, dalil-dalil yang menjadi obyek ijtihad adalah dalil-dalil Zhonni yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath'i dan tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qath’i yaitu bentuk Dalil Zhonni yang ketiga dalam pembahasan di atas[25]. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalil-dalil yang qath'i dan dalil-dalil yang Zhonni yang dinaungi oleh prinsip yang qath'i tidak memerlukan ijtihad lagi untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum.

D.    Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa dalil-dalil hukum (Adillat al-Ahkam) baik dari segi asal-usul historisnya (al-wurud), dan segi penunjukkan kepada makna (ad-dalalah), atau dari segi kekuatan argumentatif maknanya (al-hujiiyah), ada yang qath'i dan ada pula yang Zhonni.
Al-Qur'an jika dilihat dari segi asal-usul historisnya adalah qath'i (Qath 'i ats- Tsubut). Sedangkan dari segi penunjukkan kepada maknanya terbagi menjadi 2 (dua) kemungkinan; ada yang qath'i (Qath'i ad-Dalalah) dan ada yang Zhonni (Zhonni ad-Dalalah). Dan dari segi kekuatan argumentatif maknanya ada yang qath'i (Qath'i al-Hujjiyah) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni al-Hujjiyah). As-Sunnah dari segi asal-usul historisnya terbagi menjadi 2 (dua); ada yang qath'i (Qath 'i al-Wurud) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni al-Wurud). Sedangkan dari segi penunjukkan kepada makna terbagi menjadi 2 (dua); ada yang qath'I (Qath "i ad-Dalalah) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni ad-Dalalah). Dan dari segi kekukatan argumentatif maknanya ada yang qath 'i (Qath 'i al-Hujjiyah) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni al-Hujjiyah).
Dalil-dalil, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, yang penunjukkan kepada makna dan kekuatan argumentatif maknanya bersifat qath'i tidak memerlukan lagi adanya ijtihad untuk memahaminya. Sedangkan dalil-dalil yang penunjukkan kepada makna dan kekuatan argumentatif maknanya bersifat Zhonni masih memerlukan adanya ijtihad di dalam memahaminya untuk dapat digunakan sebagai dasar hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
Sinar Grafika, Cet. II 2004
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: 
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1996
Abu Zahrah, Muhammad,  Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,  1994
al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul. tt.p.:
 Dar al-Fikr,
al-Bashri, Abu al-Hasan. Kitab al-Mu'tamad. Damaskus: Institut Francais de     
Damas, 1964.
asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi
Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.     
Dar al-Fikr, 1341 H.
Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung:
Gema Risalah   Press, 1992.
Khallaf, 'Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Figh. Get 12. Kuwait:
Dar al-Fikr, 1398     H./1978M.
Kafrawi Ridwan dkk, , Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jil. II,
Jakarta 1993 Hal.
Muhktar  Yahyah, fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam,
PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986
Zaidan, 'Abd al-Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Figh. Baghdad:
Matba'at al-'Any,        1970.



[1] Zaidan, 'Abd al-Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Figh. Baghdad: Matba'at al-'Any, 1970. Hal. 160
[2] Zaidan, 'Abd al-Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Figh. Baghdad: Matba'at al-'Any, 1970. Hal. 119
[3] Abu Zahrah, Muhammad,  Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,  1994 Cet II Hal. 30
[4] Khallaf, 'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh. Cet XII. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M.
[5] asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi  Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 14
[6] al-Bashri, Abu al-Hasan. Kitab al-Mu'tamad. Damaskus: Lnstitut Francais de Damas, 1964. Hal. 551
[7] asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi  Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 13
[8] Ibid Hal. 14
[9] asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi  Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 14-16
[10] Ibid  hal. 14
[11] Ibid Hal. 7-8
[12] Ibid Hal. 8
[13] asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi  Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 12
[14] Kafrawi Ridwan dkk, , Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jil. II,  Jakarta 1993 Hal. 237
[15] Muhktar  Yahyah, Fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986 Hal. 37 dan 55
[16] Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Sinar Grafika, Cet. II 2004 Hal. 51
[17] asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi  Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 12-13

[18] al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul, Dar al-Fikr Hal. 101
[19] Khallaf, 'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh. Get 12. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M. Hal. 35
[20] Muhktar  Yahyah, fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986 Hal. 37
[21] Ibid Hal. 38
[22] Khallaf, 'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh. Get 12. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M. Hal. 42-43
[23] Muhktar  Yahyah, Fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986 Hal.
[24] Khallaf, 'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh. Get 12. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M. Hal. 24
[25] asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi  Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 12

1 opmerking: