DALIL QOTH’I DAN ZHONNI
Oleh: Mumu Fahmudin
Abstrack:
The
arguments of both the Qur'an and as-Sunnah, the appointment to the meaning and
significance of argumentative strength is qath'i no longer need to understand
the existence of ijtihad. While the arguments that the appointment to the
significance and meaning to be argumentative force Zhonni still require the
presence of ijtihad in understanding to be used as a legal basis.
Keyword: Qath'i, Zhonni, Dalalah
A.
Pendahuluan
Dalam kajian
terhadap al-Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak diperhatikan, yaitu al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Dari sisi al-subut al-Qur’an, tidak ada perbedaan
pandangan di kalangan umat Islam tentang kebenaran sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Allah karena
sampai kepada umat Islam secara mutawatir sehingga memfaedahkan yakin.[1]
Sementara dari
sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
hukum, dapat dibedakan atas ayat-ayat yang qath’i
dan Zhonni. Kajian mendalam
terhadap ayat-ayat al-Qur’an menunjukan bahwa adanya ayat-ayat yang qathi’i dan Zhonni merupakan ciri al-Qur’an tersendiri dalam menjelaskan hukum
(ahkam). Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya adalah
tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, Allah memang secara sengaja menempatkan
suatu ayat qathi’i dan yang lain Zhonni dengan maksud dan makna tertentu.
Pembahasan qath’i dan Zhonni hanya dapat ditemukan di kalangan
ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta
kandungan makna dalil itu sendiri. Para ahli usul fiqh membagi dalil atas tiga
bentuk, yaitu nas, zahir, dan mujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan
oleh jumhur ushul fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Sedangkan dalil dalam kategori zahir
dan mujmal termasuk dalil yang bersifat Zhonni, karena makna dalil dalam
kategori ini masih mengandung kemungkinan makna lain.
Ulama
Ushul al-Fiqh ada yang menegaskan bahwa sifat dalil itu adalah menunjukkan
kepada hukum syar'i secara konklusif (qath'i), kalau tidak menunjukkan
kepada hukum syar'i secara konklusif (qath'i), melainkan hanya dugaan
kuat (Zhonni) maka disebut dengan amarah (tanda-tanda hukum).
Akan tetapi pengertian yang umum di kalangan ulama Ushul al-Fiqh adalah bahwa
dalil-dalil itu meliputi semua sumber hukum (Mashadir al-Ahkam) yang
menunjukkan kepada hukum syar'i, baik secara qath'i maupun secara Zhonni.[2]
B.
Pengertian Qath’i dan Zhonni
Berdasarkan
kenyataan di atas dan dari berbagai konteks pemaknaan yang ada, maka dapat
diambil pemahaman bahwa:
1.
Dalil Qath'i
Secara
bahasa yang dimaksud dengan qath’i
adalah putus, pasti, atau diam. Qath’i
dan Zhonni merupakan salah satu
bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan
dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil.[3]
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, qath’i adalah
sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks
(ayat atau hadis). Qath’i tidak
mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk
memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks.[4]
Dalil
Qath'i yang dirumuskan asy-Syatibi adalah suatu dalil yang asal-usul
historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada makna (ad-dalalah)
atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat
pasti dan meyakinkan. seperti kepastian kita tentang adanya seseorang yang
bernama Hatim, yang kita ketahui dari banyaknya kejadian-kejadian dan
laporan-laporan mengenainya[5].
Atau seperti kepastian kita tentang adanya Kota Makkah dan Negara Mesir karena
ke-mutawatiran berita-berita mengenainya sehingga seakan-akan kita melihatnya
langsung[6].
Menurut
asy-Syatibi, ke-qath'i-an makna yang ditunjukkan oleh dalil tidak selalu
lahir dari kekuatan dalil itu sendiri. Dengan kata lain, suatu dalil tidak
secara berdiri sendiri menunjukkan kepada makna qath'i, sebagaimana yang
disebutkan oleh asy-Syatibi;"... adanya ke-qath’i-an, dalam
pengertian yang umum dipakai pada dalil-dalil syar'i secara satu persatu
adalah mustahil atau amat langka"[7].
Ketidak-qath’i-an itu dapat disebabkan oleh kemungkinan-kemungkinan
historis, misalnya asal-usul dalil tersebut secara historis (al-wurud)
memang belum meyakinkan, dan apabila asal-usul historisnya telah terbukti
shahih dan qath'i, dalil tersebut masih akan diliputi oleh kemungkinan-kemungkinan
gramatikal dan semantik, misalnya adanya perbedaan bacaan (qira'ah) yang
disebabkan oleh perbedaan analisis sintaksis, adanya makna ganda (musytarak),
dan lain-lain.
Akan
tetapi ke-qath'i-an tersebut lahir dari gabungan sejumlah dalil yang secara
bersama-sama mendukung penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) yang pasti.
Rukun Islam yang ada 5 (lima) itu misalnya adalah qath'i, dan ke-qath’i-annya
diperoleh dengan cara demikian[8].
Kewajiban shalat misalnya tidak semata-mata ditunjukkan oleh perintah di dalam
firman Allah SWT:
واقيموا الصلاه......
"Dan dirikanlah shalat..." (QS.
al-Baqarah: 43).
Dalil
tersebut ditopang oleh sejumlah indikasi lain yang semuanya mendukung pemaknaan
perintah di dalam firman Allah Swt. di atas sebagai menunjukkan wajib. Misalnya
kita menemukan adanya pujian terhadap orang yang mengerjakan shalat dan celaan
terhadap orang yang meninggalkannya, adanya perintah shalat dalam keadaan duduk
sekalipun apabila tidak bisa berdiri, atau berbaring apabila tidak bisa duduk,
dan indikasi lainnya. Kebersamaan inilah yang membuat Firman Allah SWT menjadi
wajib dan membuat hukum wajib tersebut adalh Qoth’i[9].
Namun,
pendapat tersebut mengandung kebebasan berpikir yang berlebihan(ihtimal
at-Takhayyul), yang apabila dibiarkan dengan sendirinya, tanpa adanya batasan,
akan menyebabkan dan menimbulkan kesimpulan bahwa di dalam al-Qur'an tidak ada
dalil yang bersifat qaih'i dan tidak
akan ada dalil yang dapat dijadikan pedoman secara pasti dan meyakinkan.
Dan
hal tersebut tidak mungkin keberadaannya karena di dalam al-Qur'an
terdapat
dalil-dalil yang bersifat universal, yang mendukung upaya menjaga prinsip universal,
yaitu untuk menjaga agama (ad-Din\ jiwa (an-Nafs), akal (al-'Aql),
keturunan (an-Nasab), dan harta (al-Mal), dan inilah dalil-dalil
yang secara pasti dan meyakinkan untuk dijadikan pedoman.
Disamping
itu juga dalam al-Qur’an ayat-ayat yang bersifat qoth’I sangat sedikit
sekali diperkiraan hanya 1% sedangkan ayat yang bersifat Zhonni 99%
jumlahnya dasar ini lah yang menjadi landasan sebagai lapangan ijtihad para
ulama fiqh.
2.
Dalil Zhonni
Secara
bahasa yang dimaksud dengan Zhonni
adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah).
Adapun
Zhonni menurut kesepakatan ulama
adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung
pengertian lain.
Dalil
Zhonni adalah suatu dalil yang
asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah),
atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga
kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan
para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan[10].
Menurut
asy-Syatibi, Dalil Zhonni ini dibagi dalam 3 (tiga) kategori:
Pertama, Dalil Zhonni yang
dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath'i
(Ashl Qath'i). Dalil ini tidak
diragukan lagi keabsahannya untuk dipegangi, sebagaimana hadits:
عن ابن عباس رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا ضرر ولاضرار (رواه احمد وابن ماجه)
Hadits
ini adalah Zhonni karena keshahihan
asal-usul historisnya (al-wurud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan
tetapi hadits ini dinaungi oleh prinsip universal (syari'ah), yaitu segala yang
merugikan (madlarat) dihindari. Prinsip ini disimpulkan dalil sejumlah
dalil juz'i atau kasus-kasus detail, seperti larangan bertindak
merugikan dan berbuat madharat terhadap istri (QS. at-Thalaq, [65]: 6), terhadap
mantan istri yang dirujuk (QS. al-Baqarah [2]: 233), larangan bertindak merugikan
dalam penulisan dan pemberian saksi hutang-piutang (QS. al-Baqarah [2]: 282),
dan larangan agar ibu dan ayah jangan sampai menderita karena anaknya (QS.
al-Baqarah [2]: 233). Dari sinilah disimpulkan prinsip di atas dan prinsip tersebut
memperkuat dan menaungi hadits Zhonni
di atas[11].
Kedua, Dalil Zhonni yang
bertentangan dengan suatu prinsip yang qath
'i. Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan
dasar-dasar syari'ah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi. Contoh yang
biasanya dikemukakan mengenai hal ini adalah penggunaan pertimbangan mashlahah
oleh beberapa ulama untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli istrinya di
siang hari bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat berupa puasa
2 (dua) bulan berturut-turut[12]. Sebenarnya
menurut hadits Rasulullah saw, hukuman tersebut bersifat fakultatif, yaitu
orang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadlan harus membayar
kifarat berupa; membebaskan budak, jika tidak ada budak, maka berpuasa 2 (dua)
bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka memberi makan 60 (enam puluh)
orang miskin.
Para
ulama tersebut mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu tujuan hukuman yang
dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan mengulangi perbuatannya.
Menurut para ulama tersebut, apabila seorang raja dihukum dengan kifarat'
membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan hukuman, yaitu mencegah
pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan berapapun harga budak dapat
dibelinya, untuk kemudian dibebaskannya. Oleh karena itu, demi kemashlahatan
raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut agar
dia merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya karena puasa 2 (dua) bulan berturut-turut
adalah berat. Cara berargumentasi (istidlal)
demikian, menurut al-Ghazali, adalah bathal, karena bertentangan dengan nash
yang menegaskan bahwa hukumannya adalah membebaskan budak, baru kalau tidak
ada, kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut diterapkan (al-Ghazali, t.t.:
285).
Argumentasi para ulama yang diwakili oleh as-syatiby
dengan menghukum raja tersebut dengan puasa 2 bulan berturut-turut berlandaskan
kemaslahatan untuk pribadi raja itu sendiri, karena kalau hukumannya
membebaskan budak itu dapat mudah dilaksanakan oleh seorang raja. Sedangkan
argumentasi Al-Ghazali terlihat sangat tradisionalis (tektual) terhadap
pemahaman nash, sehingga ia membatalkan seandainya hukuman bagi raja itu puasa
selama 2 bulan berturut-turut menurutnya karena tidak mengikuti ururtan hukuman
dalam nash tersebut di atas.
Ketiga, Dalil Zhonni yang tidak
bertentangan dengan suatu prinsip yang qath'i, tetapi tidak pula dinaungi oleh
suatu prinsip yang qath'i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima
atas dasar bahwa pada dasamya segala yang berada pada tingkat Zhonni
dalam syari'ah dapat diterima[13].
A.
Macam dan Syarat Qoth’I dan Zhonni
Dalam pembahasan ushul fiqh, dalil yang qath’i dan dalil
yang Zhonni masing terbagi atas dua bentuk, yaitu:
1.
Qath’i
as-tsubut (kebenaran sumber) dan qath’i
ad-dalalat (kepastian kandungan makna.
Yang dimaksud dengan qath’i as-subut adalah suatu dalil yang
secara pasti bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAW dan dapat dibuktikan
dari segi periwayatannya.
Adapun yang dimaksud dengan qath’i ad-dalalat adalah suatu
dalil yang hanya mempunyai satu makna dan tidak mungkin diartikan lain[14].
2.
Zhonni
as-tsubut dan Zhonni ad-dalalat
Zhonni as-tsubut adalah suatu dalil yang bersumber dari hadis ahad,
diduga keras datangnya dari Rasulullah SAW.
Zhonni ad-dalalat adalah
suatu dalil yang menunjukan kepada
arti yang masih dapat dita’wil atau dialihkan kepada arti yang lain[15].
Umat
Islam meyakini sepenuhnya bahwa al-Quran itu datang dari Allah SWT. Hadis-hadis
Rasulullah SAW yang bersifat qath’i as-subut adalah hadis-hadis
mutawattir. Adapun hadis-hadis ahad (tidak mencapai tahap mutawattir) mayoritas
hadis yang tercakup dalam katagori ini bersifat Zhonni as-subut. Dalam menjadikannya
sebagai hujjah, hadis seperti ini menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat
di kalangan ulama apabila bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Pertentangan
ini bisa dalam bentuk umum dan khusus atau mutlak dan bersyarat. Imam Abu
Hanifah misalnya, tidak mau menerima riwayat yang bersifat ahad, kecuali dengan
syarat-syarat yang cukup ketat seperti hadis itu tidak menyangkut kepentingan
semua atau mayoritas umat dan rawi hadisnya tidak melakukan suatu pekerjaan
yang bertentangna dengan kandungan hadis yang diriwayatkannya[16].
Menurut
para ahli hadis, qath’i dalalat tidak terdapat dalam al-Quran karena
tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu kandungan makna.
Berkaitan dengan hal ini, Abdullah Darraz (Ulama besar al-Azhar) mengatakan
bahwa apabila ayat-ayat al-Quran dibaca untuk pertama kali maka maknanya akan
jelas, akan tetapi apabila ayat yang sama dibaca sekali lagi maka akan
ditemukan pula maksud lain yang berbeda dengan makna yang terdahulu. Demikian
seterusnya, sampai-sampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang
bermacam-macam. Pendapat Abdullah Darraz tersebut menunjukkan bahwa dari segi
kandungan maknanya, ayat al-Quran semakin digali semakin banyak makna yang
ditemukan. Lebih lanjut beliau mengatakan ayat al-Quran itu ibarat sebutir
intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.
Adapun
yang berhubungan dengan syarat-syarat qhot’I, Dalam kaitan ini, Imam
asy-Syatibi mengemukakan sepuluh premis yang harus dipenuhi agar satu dalil
yang berdiri sendiri dapat dikatakan bersifat qath’i, yaitu[17]:
1.
Riwayat
kebahasaan
2.
Riwayat
yang berkaitan dengan tata bahasa /gramatika (nahwu)
3.
Riwayat
yang mengandung perubahan kata (sharf);
4.
Redaksi
yang dimaksud bukan kata yang bersifat ganda (musytarak);
5.
Tidak
mengandung peralihan makna (takwil);
6.
Redaksinya
bukan kata metaforis (majas);
7.
Bukan
sisipan (idmar);
8.
Bukan
awalan dari akhiran;
9.
Bukan
pembatalan hukum (naskh); dan
10.
Tidak
mengandung penolakan logis.
Jika kesepuluh premis ini bersifat qath’i, menurut beliau,
barulah dalil tersebut dinamakan qath’i. Akan tetapi, apabila tiga
premis yang pertama jelas tidak qath’i, sedang tujuh lainnya hanya diketahui
melalui istiqra tamm (metode induktif yang sempurna), maka hasilnya
tetap qath’i ad-dalalah. Oleh sebab itu, dengan pandangan ini
asy-Syatibi sependapat dengan para mufassir yang mengatakan bahwa satu dalil
(ayat atau hadis) tidak bisa dikatakan qoth’i apabila ia berdiri
sendiri. Kepastian hanya didapatkan apabila suatu dalil didukung oleh dalil-dalil
lain dalam topik yang sama.
B.
Qath'i dan Zhonni
dalam al-Qur'an dan as-Sunnah
Berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin, al-Qur'an dari segi asal-usul historisnya (al-wurud)
adalah qath'i (Qath'i ats-Tsubuf)[18].
Sedangkan dari segi penunjukkan maknanya (dalalah) terbagi menjadi 2 (dua) kemungkinan[19]: Pertama,
Qath'i (Qath'i ad-Dalalah), yaitu nash al-Qur'an yang menunjukkan kepada
makna yang jelas, dapat dipahami dan tidak memerlukan ta'wil atau dipahami
dengan makna lain. Misalnya firman Allah SWT:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidakmempunyai anak...
"(an-Nisa': 12).
Penunjukkan
makna (ad-dalalah) ayat tersebut adalah qath 'i, yaitu jelas sekali sehingga tidak boleh
dita'wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, bagian seorang
suami dalam mewarisi harta
peninggalan istrinya yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah
setengah dari
harta
peninggalannya[20].
Kedua, Zhonni (Zhonni ad-Dalalah), yaitu nash al-Qur'an
yang menunjukkan
kepada suatu makna namun masih dapat dita'wil atau maknanya dialihkan kepada makna lain. Misalnya
firman Allah SWT:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'... "(al-Baqarah: 228). .
Kata
quru' dalam Bahasa Arab disebut lafadh musytarak, yaitu mempunyai lebih
dari satu makna. Dapat bermakna thuhr (suci), dan dapat pula bermakna haidl (menstruasi).
Sehingga para mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan masa iddah perempuan
tersebut. Ada yang menetapkan masa iddahnya 3 (tiga) kali haidh dan ada yang
menetapkan masa iddahnya 3 (tiga) kali masa suci[21].
Nash-nash
al-Qur'an yang memiliki lafadh musytarak, 'am, dan muthlaq atau semacamnya
adalah Zhonni ad-Dalalah, sebab lafadz tersebut dapat diartikan kepada
suatu makna tertentu dan dapat pula menunjukkan kepada makna lain.
Sedangkan
as-Sunnah dari segi asal-usul historisnya ada yang: (1) Qath'I (Qath'i
al-Wurud), yaitu Sunnah Mutawatirah. Sedangkan Sunnah Masyhurah asal-usul
historisnya qath'i (Qath'i al-Wurud) dari sahabat, tidak dari Rasulullah
saw, karena sahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah saw tidak mencapai
derajat mutawatir. Ulama Hanafiyah menganggap Sunnah Masyhurah sebagai Sunnah Mutawatirah.
Dengan demikian menurut mereka, Sunnah Masyhurah dapat digunakan untuk mentakhshish
yang 'amm dan mentaqyid lafadh yang muthlaq dari ayat-ayat al-Qur'an. (2)
Zhonni (Zhonni al-Wurud), yaitu Sunnah Ahad, karena cara penerimaan dan
pemberitahuan para periwayat (sanad) tidak member keyakinan bahwa riwayat
tersebut berasal dari Rasulullah saw [22].
Sedangkan
dari segi penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) ketiga Sunnah tersebut,
baik Sunnah Mutawatirah, Sunnah Masyhurah, maupun Sunnah Ahad, ada yang: (a) Qath'i (Qath 'i ad-Dalalah),
apabila pengertian yang ditunjukkan oleh nash-nash Sunnah tersebut tidak dapat
dita'wil kepada makna lain, di luar makna semula. (b) Zhonni (Zhonni
ad-Dalalah), apabila pengertian yang ditunjukkan oleh nash-nash Sunnah
tersebut masih dapat dita'wil kepada makna lain, selain makna semula[23].
Dari
segi kekuatan argumentatif maknanya (al-hujjiyah), menurut pcnulis, baik
di dalam al-Qur'an maupun Sunnah, terdapat dalil-dalil yang: (a) Qath'I (Qath'i
al-Hujjiyah), yaitu nash-nash al-Qur'an maupun Sunnah yang kekuatan argumentatif
maknanya kuat, bersifat pasti, dan meyakinkan. Misakiya nash-nash
yang mendukung
prinsip-prinsip universal, yaitu prinsip yang menjaga kepentingan agama (ad-Din),
jiwa (an-Nafs), akal (al- 'Aql), keturunan (an-Nasab), dan
harta (al-Mal). (b) Zhonni (Zhonni al-Hujjiyah), yaitu nash-nash
al-Qur'an maupun Sunnah yang kekuatan argumentatif maknanya kurang kuat,
bersifat kurang pasti, dan kurang meyakinkan. Misalnya nash-nash yang merupakan
penjabaran dan pelaksanaan dari prinsip-prinsip universal tersebut dalam
lapangan hukum praktis (fiqh), sesuai dengan situasi dan kondisi, ruang
dan waktu di mana hukum tersebut dipraktikkan.
C.
Hubungan Qath'i dan Zhonni dengan Ijtihad
Berdasarkan
pemahaman di atas, bahwa terdapat nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah yang
menunjukkan makna secara qath'i (Qath 'i ad-Dalalah), secara
jelasdan meyakinkan menunjukkan kepada suatu makna tertentu dan tidak memungkinkan
lagi untuk dita'wil kepada makna lain. Dan ada pula nash-nash yang kekuatan
argumentatif maknanya (al-hujjiyah) bersifat qath'i dan mendukung
prinsip-prinsip universal. Maka nash-nash tersebut tidak akan memerlukan lagi adanya
ijtihad di dalam memahaminya dan untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai
dasar hukum.
Sedangkan
nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah yang penunjukkan maknanya adalah Zhonni (Zhonni
ad-Dalalah) masih mengandung adanya kemungkinan untuk dita'wil dan
dialihkan maknanya kepada makna Iain, termasuk nash-nash yang mengandung lafadh
yang musytarak, 'amm, dan muthlaq. Dan nash-nash yang
kekuatan argumentatif maknanya (al-hujjiyah) bersifat Zhonni dan merupakan penjabaran dari
pelaksanaan prinsip-prinsip universal. Maka di sinilah diperlukan adanya
ijtihad dalam menentukan maknanya yang sebenamya, dan seringkali di dalam
nash-nash yang Zhonni inilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan
mujtahid[24].
Namun
secara umurn, menurut asy-Syatibi, dalil-dalil yang menjadi obyek ijtihad
adalah dalil-dalil Zhonni yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip
yang qath'i dan tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qath’i yaitu bentuk Dalil Zhonni yang ketiga dalam pembahasan di
atas[25].
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalil-dalil yang qath'i dan dalil-dalil
yang Zhonni yang dinaungi oleh
prinsip yang qath'i tidak memerlukan ijtihad lagi untuk dapat dijadikan
sebagai sumber hukum.
D.
Penutup
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa dalil-dalil hukum (Adillat
al-Ahkam) baik dari segi asal-usul historisnya (al-wurud), dan segi
penunjukkan kepada makna (ad-dalalah), atau dari segi kekuatan argumentatif
maknanya (al-hujiiyah), ada yang qath'i dan ada pula yang Zhonni.
Al-Qur'an
jika dilihat dari segi asal-usul historisnya adalah qath'i (Qath 'i
ats- Tsubut). Sedangkan dari segi penunjukkan kepada maknanya terbagi
menjadi 2 (dua) kemungkinan; ada yang qath'i (Qath'i ad-Dalalah)
dan ada yang Zhonni (Zhonni ad-Dalalah). Dan dari segi kekuatan
argumentatif maknanya ada yang qath'i (Qath'i al-Hujjiyah) dan
ada pula yang Zhonni (Zhonni al-Hujjiyah). As-Sunnah dari segi
asal-usul historisnya terbagi menjadi 2 (dua); ada yang qath'i (Qath
'i al-Wurud) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni al-Wurud). Sedangkan dari
segi penunjukkan kepada makna terbagi menjadi 2 (dua); ada yang qath'I (Qath
"i ad-Dalalah) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni ad-Dalalah).
Dan dari segi kekukatan argumentatif maknanya ada yang qath 'i (Qath 'i
al-Hujjiyah) dan ada pula yang Zhonni (Zhonni al-Hujjiyah).
Dalil-dalil,
baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, yang penunjukkan kepada makna dan kekuatan
argumentatif maknanya bersifat qath'i tidak memerlukan lagi adanya
ijtihad untuk memahaminya. Sedangkan dalil-dalil yang penunjukkan kepada makna
dan kekuatan argumentatif maknanya bersifat Zhonni masih memerlukan
adanya ijtihad di dalam memahaminya untuk dapat digunakan sebagai dasar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan
dan Fleksibilitasnya,
Sinar
Grafika, Cet. II 2004
Abdul Aziz
Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1996
Abu Zahrah,
Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994
al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul. tt.p.:
Dar al-Fikr,
al-Bashri,
Abu al-Hasan. Kitab al-Mu'tamad. Damaskus: Institut Francais de
Damas, 1964.
asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi
Muhammad
al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.
Dar al-Fikr,
1341 H.
Departemen
Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung:
Gema Risalah Press, 1992.
Khallaf,
'Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Figh. Get 12. Kuwait:
Dar al-Fikr,
1398 H./1978M.
Kafrawi
Ridwan dkk, , Ensiklopedia Islam, Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jil. II,
Jakarta 1993
Hal.
Muhktar Yahyah, fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam,
PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986
Zaidan,
'Abd al-Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Figh. Baghdad:
Matba'at
al-'Any, 1970.
[1] Zaidan, 'Abd
al-Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Figh.
Baghdad: Matba'at al-'Any, 1970. Hal. 160
[2] Zaidan, 'Abd
al-Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Figh.
Baghdad: Matba'at al-'Any, 1970. Hal. 119
[3] Abu Zahrah,
Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Cet II Hal. 30
[4] Khallaf, 'Abd
al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh. Cet
XII. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M.
[5] asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul
al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar
Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 14
[6] al-Bashri, Abu
al-Hasan. Kitab al-Mu'tamad.
Damaskus: Lnstitut Francais de Damas, 1964. Hal. 551
[7] asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul
al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar
Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 13
[9] asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul
al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar
Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 14-16
[12] Ibid Hal. 8
[13] asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul
al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar
Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 12
[14] Kafrawi
Ridwan dkk, , Ensiklopedia Islam, Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jil. II, Jakarta 1993
Hal. 237
[15] Muhktar Yahyah, Fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986
Hal. 37 dan 55
[16]
Abdullah,
Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan
dan Fleksibilitasnya, Sinar Grafika, Cet. II 2004 Hal. 51
[17] asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul
al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar
Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 12-13
[18] al-Ghazali, Abu
Hamid. Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul,
Dar al-Fikr Hal. 101
[19] Khallaf,
'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh.
Get 12. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M. Hal. 35
[20] Muhktar Yahyah, fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986
Hal. 37
[21] Ibid Hal. 38
[22] Khallaf,
'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh.
Get 12. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M. Hal. 42-43
[23] Muhktar Yahyah, Fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986
Hal.
[24] Khallaf,
'Abd al-Wahhab. 'Ilm Ushul al-Figh.
Get 12. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M. Hal. 24
[25] asy-Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim. Al-Muwqfaqat fl Ushul
al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar
Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar al-Fikr, 1341 H. Hal. 12
permasalahan hilafiah itu yg bagai mana?
AntwoordVee uit